Tuesday, January 17, 2017

Sektor Informal Kota: Analisis teori Strukturasi Giddens



Abstrak
Teori Strukturasi Giddens mencoba memberi penjelasan adanya dualitas bukan dualisme antra struktur dan individu. Giddens berpendapat obyek utama kajian ilmu sosial bukanlah peran sosial seperti dalam fungsionalisme, bukan pula kode tersembunyi seperti dalam strukturalisme Levi-Strauss, bukan pula seperti keunikan situasional seperti dalam interaksi simbolik Goffman. Dalam strukturasi Giddens obyek ilmu sosial bukan bagian dan bukan keseluruhan, bukan struktur dan bukan pula individu, tetapi merupakan titik temu antara keduanya. Kerangka pemikiran seperti ini yang digunakan untuk melihat kasus sektor informal kota (Pedagang Kaki Lima ) yang semakin berkembang pesat di sudut-sudut di berbagai kota belahan dunia manapun. Fenomena sektor informal di berbagai kota seringkali dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur –pemerintah kota-- yang telah dianggap mapan.

Kata Kunci: Strukturasi, Sifnifikasi, dominasi, legitimasi, bingkai intrepretasi, kekuasaan, komunikasi, sanksi, pedagang kaki lima, sektor informal

Pendahuluan
Di berbagai kota termasuk Surabaya selalu tak pernah luput dari tumbuhnya Pedagang Kaki Lima (PKL). Eksistensi dan keberadaan PKL seakan sebagai “anak kandung” sebuah kota. Di manapun PKL tak dapat dipisahkan dengan sebuah kota. Di kota-kota kecil, sedang  apalagi besar PKL selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kota itu sendiri. Semakin besar suatu kota maka semakin menjamur dan berkembang Pedagang Kaki Lima-nya. Fenomena pedagang kaki lima tidak saja terdapat di negara-negara dunia ketiga atau sedang berkembang tetapi juga di kota-kota negara-negara maju.
Kota Surabaya yang merupakan terbesar kedua setelah Jakarta tak dapat menghindari tumbuhnya Pedagang Kaki Lima  (PKL). Di berbagai sudut jalan di kota Surabaya dengan mudah dapat ditemui rombong-rombong untuk berjualan. Kalau toh tak menggunakan rombong tak sedikit Pedagang Kaki Lima menggelar dagangannya baik ditrotoar maupun di jalanan. Beberapa contoh dapat disebut, misalnya jalan Tunjungan, Kapasan, Gembongan, perempatan jalan Diponegoro, Girilaya dan dari jurusan Pasar Kembang, depan stasiun Wonokromo, jalan Pahlawan dan di tempat-tempat lainnya semakin hari semakin meluas. Bahkan konon pasar Simo Gunung yang berada di jalan Banyuurip pernah disebut tempat pedagang kali lima terpanjang di kota ini.
Seiring dengan dengan berjalannya kehidupan kota aktifitas pedagang kali lima yang semakin tak terkendali. Tanpa disadari telah banyak mengganggu warga kota lainnya yang juga berhak menikmati kenyamanan. Jalanan menjadi macet, kawasan menjadi kumuh dan warga sekitar tempat menggelar dagangan merasa dirugikan. Terganggunya warga sekitar jalan Banyuurip misalnya dapat disebut sebagai contoh bahwa aktifitas pedagang kaki lima sering membuat kesal karena pedagang membuang sampah sembarangan. Akibatnya bau busuk menyengat hidung dan ketika hujan turun maka banjir menjadi keniscayaan.
Hasil penertiban terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di kota Surabaya selama bulan Pebruari tercatat sebanyak 103.993 yang berhasil ditertibkan dan sebanyak 53.058 yang membongkar sendiri tempat usahanya. Merujuk dari hasil penertiban pada periode Pebruari 2002 terlihat paling tidak di kota Surabaya minimal terdapat sebanyak 157.051 PKL. Jumlah ini barangkali masih lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Karena di beberapa tempat mungkin masih lolos dari kegiatan penertiban, terutama di jalan-jalan yang berada di luar 21 (dua puluh satu) jalur lalu lintas yang ditetapkan dan dijadikan sasaran penertiban (Hasil-(Hasil-Hasil Penertiban bulan Pebruari dan April 2002).
Sebelum dan sesudah penertiban, jalan Pahlawan adalah kawasan lain yang dikuasai oleh pedagang kaki lima. Di jalan ini semakin banyak jumlah pedagangnya terjadi pada waktu hari minggu atau hari libur. Pada hari-hari seperti ini hampir semua ruang jalan Pahlawan penuh pedagang yang mayoritas berjualan pakaian.  Akibatnya lalulintas di jalan ini biasanya lumpuh, tidak bisa lagi dilewati. Sementara pada hari-hari biasa masih agak longgar karena hanya separo badan jalan yang dipergunakan berjualan. Namun demikian tak jarang lalulintas di jalan Pahlawan sering macet karena memang volume di kawasan ini tergolong padat kendaraan. Menurut data penjaringan kecamatan pada bulan Mei 2001, jumlah pedagang di di jalan pahlawan sekitar 600 orang. Sementara itu pada tahun 2002, jumlahnya meningkat cukup besar. Pendataan pada bulan Juni 2002 ditemukan data bahwa di Jalan Pahlawan jumlahnya mencapai sebanyak 1.041 pedagang.
Kalau jalan Pahlawan dipenuhi pedagang yang sebagian besar berjualan pakaian, lain lagi dengan jalan Tunjungan. Di jalan yang merupakan akses jalan utama di kota Surabaya ini sebelum penertiban besar-besar awal bulan Pebruari 2002 sempat mendapat julukan “Glodoknya” Surabaya. Hampir semua Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di jalan Tunjungan -–terutama di seputar depan pusat pertokoan Siola— adalah penjual video compact disc (VCD). Di kawasan jalan Tunjungan menujukkan bahwa jumlah PKL Tunjungan melonjak sangat tajam pada tahun 2001. Sebelum puasa diperkirakan hanya sebanyak 240 PKL, sementara setelah lebaran melonjak menjadi 400 PKL. Data terakhir –akhir tahun 2001--  menunjukkan antara 700 sampai 1.000 PKL. Menurut data resmi yang di himpun lewat penjaringan informasi kecamatan pada bulan Mei 2001 jumlah pedagang yang berada di kawasan jalan Tunjungan sekitar 800 pedagang.
Semakin tumbuh dan berkembangnya PKL berakibat semakin banyak fasilitas publik seperti jalan dipergunakan untuk tempat berjualan. Tak sedikit ruang jalan di kota Surabaya ini yang berubah fungsi tidak lagi menjadi tempat berlalulintas transportasi tetapi telah berubah menjadi pasar. Sementara pasar sendiri ada yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal tidak lagi memiliki arti pasar sebagai arena jual-beli bagi penjual dan pembeli. Seperti misalnya pasar Keputran yang memiliki dua lantai telah berubah fungsi, terutama pada lantai dua. Di lantai dua ini yang terdiri dari 245 kios telah berubah menjadi tempat tinggal dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti hanya sebagai tempat istirahat dikala lelah berjualan. Tak sedikit kios yang telah berubah fungsi seperti rumah yang dilengkapi dengan alat-alat keperluan rumah tangga seperti almari, alat dapur, tempat tidur bahkan ada stand yang dilengkapi meja kursi layaknya sebagai ruang tamu.
Sementara itu pada pedagang memiliki berjualan di lantai satu dan di jalan-jalan sekitar pasar Keputran. Semakin hari perkembangan jumlah pedagang yang berjualan di jalan-jalan sekitar pasar Keputran tidak saja yang memiliki stand di lantai dua saja. Tetapi semakin banyak pedagang kagetan yang terutama sayuran juga membuka stand. Akibatnya jumlah pedagangnya membengkak dan mampu lagi di dalam pasar kalau toh dimasukkan kembali. Menurut perkiraan, di pasar Keputran dan jalan-jalan sekitarnya terdapat  sekitar 800 pedagang kagetan. Karena itu tak mengherankan sepanjang jalan Keputran Utara mulai ujung Selatan depan pasar Keputran hingga perempatan depan hotel Brantas pada sore mulai sekitar pukul 15.00 hingga pagi hari sekitar jam 05.00 dipenuhi para pedagang. Selain jalan Keputran Utara, di jalan Bayu –sebelah selatan gedung Darmala— menunjukkan pemandangan serupa, yaitu dipenuhi para pedagang.
Selain di sepanjang jalan Keputran Utara (depan pasar Keputran), jalan Kapasan hampir bernasib serupa. Hampir-hampir jalannya dipenuhi oleh para pedagang. Beda dengan di jalan Keputran Utara, para pedagangnya berjualan sayuran yang menyisakan banyak sampah. Di jalan Kapasan dan Gembong para pedagangnya berjualan barang-barang bekas. Karena itu di dua jalan ini –-jalan kapasan dan Gembong— dikenal sebagai pusat barang bekas. Kalau di jalan Keputran pada waktu sore hingga pagi hari ditutup total oleh para pedagang, di jalan Kapasan masih agak lumayan bagi pengendara. Kendati masih tersisa dua jalur bahkan kadang-kadang hanya satu jalur lalulintas masih dapat berjalan meskipun sering terjadi kepadatan yang sangat tinggi dan cenderung macet.
Semakin tumbuh dan berkembangnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang cenderung banyak menguasai ruang-ruang publik sehingga dianggap merugikan orang lain mengilhami pemerintah kota harus memutar otak untuk melakukan tindakan antisipati dan kuratifnya. Telah banyak keluhan masyarakat yang menganggap bahwa akibat semakin tidak teraturnya para Pedagang Kaki Lima (PKL).    Semakin banyaknya PKL yang tidak teratur berdampak dan andil dalam semakin memperparah kemacetan. Selain itu dari segi keindahan kota keberadaan PKL seringkali dituduh merusak pemandangan. Pemandangan yang kumuh dan kotor di sepanjang  trotoar yang digunakan untuk berjualan serta rombong-rombong yang kusam tak teratur semakin menambah tak sedap ruang-ruang publik di pinggir-pinggir jalan.
Pemerintah kota sebagai institusi yang memiliki kewenangan mengatur kota  mau tidak mau harus turun tangan. Kecenderungan seperti itu kalau dibiarkan tanpa adanya intervensi regulasi dari pemerintah kota akan beresiko dan harus dibayar  dengan biaya yang tidak murah. Biaya sosial maupun ekonomi di kelak kemudian hari jika dibiarkan berkembang secara “alami” tak menutup kemungkinan semakin menambah kerawanan kawasan kota. Sejumlah pengalaman menunjukkan bahwa sebuah tempat yang dibiarkan dari serbuan kaum migran akan membentuk perkampungan kumuh atau slum area. Dalam perkembangannya perkampungan kumuh yang bermunculan sedikit banyak akan menimbulkan persoalan  bagi perkembangan kota.
Kebijakan yang sama juga diberlakukan di kawasan jalan Pahlawan. Operasi penertiban di jalan memang tidak hanya mengusir para pedagang dari tempat berjualan. Tetapi memberi alternatif kepada para pedagang untuk berjualan di seputar  Tugu Pahlawan. Upaya alternatif inipun tidak bertahan lama. Para pedagang akhirnya kembali lagi memenuhi jalan Pahlawan. Demikian juga di jalan Kapasan dan beberapa ruas jalan lainnya. Usaha pemerintah kota untuk mengembalikan fungsi pasar Keputran sebagai tempat transaksi jual beli juga belum berhasil secara maksimal. Kendati usaha menertibkan bangunan yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat tinggal yang dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2002 dapat dibilang sukses. Usaha penertiban dengan membongkar stand-stand yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal tidak mendapat perlawanan sedikitpun dari penghuninya. Tetapi dari segi pemfungsian kembali pasarnya masih jauh dari berhasil. Pedagang masih tetap memilih berjualan di lantai satu atau di jalan-jalan sekitar pasar Keputran.
            Di kawasan lain sudut kota Surabaya menunjukkan fakta yang sama, yaitu para PKL masih tetap berjualan di tempat semula. Hanya saja kadar keberanian untuk kembali ke tempat semula berbeda-beda. Demikian juga sikap perlawanan dari PKL dai berbagai kawasan kota ini juga berbeda-beda. Misalnya penertiban di jalan Tunjungan adalah usaha penertiban yang paling a lot dan mungkin menakutkan selain penertiban di jalan Keputran Utara. Penertiban PKL VCD di kawasan jalan Tunjungan sempat dihantui oleh adanya kerusuhan massa. Sehingga berkali-kali usaha penertiban di kawasan ini berkali-kali tertunda. Pada saat penertiban yang melibatkan aparat kemanan baik tentara dari angkatan darat, Laut maupun Marinir serta aparat kepolisian memang terbukti ada perlawanan yang tergolong keras. Hanya saja tidak sampai ada jatuh korban jiwa hingga meninggal, yang ada hanya korban luka-luka.
            Kendati sebelumnya –-bulan Pebruari 2002— telah diadakan penertiban keberadaan PKL masih tetap bermunculan kendati jumlahnya realtif berkurang drastis. Di beberapa ruas jalan yang sebelumnya ditertibkan ternyata dalam waktu singkat bermunculan kembali. Khususnya cara pandang terhadap PKL tampaknya memerlukan perubahan pendekatan dan penanganan. Di razia dan ditertibkan bagaimanapun PKL yang ada di kota Surabaya masih saja terus bermunculan. Sanksi hukuman dan di bawa ke pengadilan ternyata tidak membuat PKL jera yang akhirnya tidak berjualan lagi. Namun kenyataannya  di beberapa ruas jalan tampak kembali PKL  menggelar dagangannya. Ancaman akan membawa ke pengadilan, menyita rombong dan tindakan refresif lainnya ternyata tidak menyiutkan nyali PKL untuk berjualan kembali. Berbagai halangan yang sengaja dibuat berupa “gangguan” di tempat berjualan ternyata tidak menjadi masalah yang serius bagi aktifitas PKL. 
Kasus semacam ini dapat dilihat di sekitar pasar Keputran. Pemerintah kota Surabaya sampai saat ini belum berhasil memasukkan kembali ke dalam passar para pedagang yang setiap sore hingga malam hari selalu menempati ruas-ruas jalan di sekitar Pasar Keputran. Di dua ruas jalan seputar pasar Keputran ,yaitu Jalan Bayu yang berada di sebelah Selatan gedung Dharmala dan jalan Keputran Utara dari ujung Selatan sampai Utara  setiap sore hingga pagi hari praktis berubah menjadi pasar. Ketika sore hingga pagihari tak ada ruang yang dapat digunakan untuk lalulintas kendaraan. Semua ruas jalan digunakan untuk pedagang  menggelar daganganya, terutama sayuran dan kebutuhan dapur.
            Di kawasan jalan-jalan lainnya  ternyata tidak menunjukkan gejala yang berbeda. Banyak ruas-ruas jalan tetap saja ditumbuhi PKL kendati operasi penertiban telah dilakukan beberapa kali. Bahkan surat Perintah walikota  yang mengatur solusi kegiatan PKL tidak banyak diindahkan. Di lokasi-lokasi yang dinyatakan bebas PKL-pun tetap berdiri sejumlah PKL menggelar dagangannya kendati jumlahnya tidak sebanyak sebelum adanya operasi penertiban.
Menurut Surat Perintah Walikota Surabaya beberapa jalan seperti Jl. Bubutan, Jl. Pegirikan, Jl. Tunjungan Center, Jl Dharmawangsa, Jl. Airlangga, Jl Indragiri, Jl. Basukui Rachmad, Jl. Embong Malang dan Jl. Raya Darmo  adalah bebas PKL baik siang maupun malam. Tetapi ketika di lakukan mapping tanggal 18 Juni 2002 ternyata di 9 (sembilan) ruas jalan yang dinyatakan bebas PKL masih terdapat sebanyak  397 PKL. Jumlah  paling banyak terdapat di jalan Pegirikan, yaitu masih terdapat sebanyak 85 PKL pada jam 14.00, kemudian disusul di jalan Embong Malang berjumlah 65 PKL yang menggelar dagangannya pada pukul 16.00. Pemandangan yang sama dapat dengan mudah ditemukan di jalan Raya Darmo. Di jalan yang merupakan jalur utama kota Surabaya masih ditemukan sebanyak  60 PKL pada jam 13.00.
Sementara itu sesuai  surat perintah walikota di Jalan Pahlawan masih diperbolehkan berjualan antara jam 07.00-11.00. Namun demikian tidak semua PKL mematuhi jam kegiatan yang telah ditetapkan. Di atas jam 11.00 sebagian PKL masih tetap berjualan dengan tidak ada tindakan dari pemerintah kota. Pada hari-hari biasa di seputar Jalan Pahlawan khususnya sebelah Timur Bank Indonesia jumlahnya tidak sebanyak pada hari Minggu. Pada hari biasa jumlah PKL di seputar Tugu Pahlawan dan Bank Indonesia sekitar 246 pedagang. Tetapi pada hari minggu jumlahnya meningkat drastis menjadi sampai 1.041 pedagang. Tak pelak ruas jalan di seputar jalan Pahlawan khususnya di sebelah Timur BI hanya tersisa satu jalur kendaraan. Sampai-sampai ada sebutan bahwa seputar Tugu Pahlawan dijuluki sebagai “TP5”.
Pasca penertiban besar-besar yang dimulai pada tanggal 1 Pebruari 2002, memang terlihat jumlah PKL di beberapa sudut jalan mulai berkurang. Bahkan di beberapa ruas jalan bersih sama sekali dari PKL. Kendati upaya pemerintah kota Surabaya memperlihatkan keberhasilan membersihkan PKL dari beberapa ruas jalan terutama yang berada di 7 jalur jalan protokol, ternyata masih menyisakan pekerjaan yang tidak ringan. Kalau di tempat lain dapat menghalau PKL menempati ruas-ruas jalan yang dilarang oleh pemerintah kota sebagai tempat berjualan tetapi tidak demikian pada kasus pedagang yang menempati ruas jalan Keputran Utara dan jalan Bayu (seputar pasar Keputran).
Sudah berkali-kali pemerintah kota mengupayakan agar pedagang pasar yang memenuhi jalan masuk kembali ke dalam pasar Keputran tetapi berkali-kali pula tidak berhasil. Penertiban bedak-bedak yang telah berubah fungsi menjadi tempat tinggal  di lantai dua di pasar Keputran  dilakukan pemerintah kota. Tetapi pembongkaran tempat tinggal di lantai dua pasar Keputran dan memfungsikan kembali menjadi bedak-bedak untuk berjualan ternyata tidak banyak menarik minat pedagang kembali ke dalam pasar. Pedagang masih tetap saja menempati dan memenuhi jalan-jalan di sekitar pasar Keputran. Karena itu akhirnya pemerintah kota Surabaya menempuh jalan kompromi hanya dengan melakukan pembatasan areal pasar agar tidak sampai merembet dan memacetkan alur lalulintas yang berada di jalan Panglima Sudirman dan jalan Sono Kembang.
            Dalam tulisan ini mencoba menelisik komunitas terbatas atau  kelompok kecil pedagang pasar Keputran yang menempati jalanan dan tidak mudah direlokasi oleh pemerintah kota. Kenapa pemerintah kota Surabaya yang mewakili simbol negara dengan kekuatan sumberdaya yang ada dan memadai  baik dari segi politik, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan ternyata tidak mampu dan akhirnya harus menyerah menghadapi pedagang yang jelas-jelas menempati jalan yang mestinya berfungi sebagai jalur lalulintas kendaraan.

Landasan Teoritis.
Menurut Giddens struktur merupakan aturan (rules) dan sumberdaya ( resources) yang terbentuk dari dan perulangan praktik sosial (Gidens, 1976,1993:126, 1979:63, 1984:xxxi). Dualitas antara struktur dan pelaku terletak pada proses di mana struktur sosial merupakan hasil (outcome) dari praktek sosial. Selain itu struktur sekaligus merupakan sarana (medium) yang memungkinkan berlangsunganya praktek sosial (Giddens. 1976,1993:128-129, 1979:5, 1984:374). Struktur bukanlan bersifat mengekang (constraining) seperti pada pengertian Dhurkheimian. Tetapi struktur dalam pengertian Giddens memiliki sifat memberdayakan (eabling) yang memungkinkan praktek sosial.
Dalam teori strukturasi Giddens membedakan antara struktur dengan sistem. Struktur dipahami dari dimensi sintagmatik dan paradigmatik  dalam penstrukturan hubungan-hubungan sosial. Dimensi sintagmatik  dapat dilihat dari resproduksi praktek-praktek yang terikat pada ruang dan waktu tertentu. Sementara itu dimensi paradigmatik dapat dilihat dari tata cara-cara penstrukturan yang terjadi berulang kali dalam proses reproduksi. Karenanya struktur merujuk pada sifat-sifat penstrukturan yang memberikan bentuk sistemik pada kegiatan-kegiatan sosial serupa dan yang memungkinkan mereka bertahan dalam lintas ruang dan waktu (Suhartono, dalam: Basis 2000).
Sementara itu sistem-sistem sosial merujuk pada praktek-praktek sosial yang direproduksikan (Gidddens. 1984:17). Praktek-praktek sosial yang direproduksikan ini adalah kegiatan-kegiatan yang terikat pada ruang dan waktu tertentu yang diadakan kembali dalam lintas ruang dan waktu yang secara berulang melibatkan struktur di dalamnya. Karenanya struktur mengatasi ruang dan waktu. Struktur hanya ada  dalam perwujudan seketika dalam sistem sosial dan jejak-jejak ingatan bagi orientasi perilaku manusia. Karenanya struktur bukan berada di luar individu. Giddens mendefinisikan strukturasi sebagai strukturasi relasi-relasi sosial yang melintasi waktu dan ruang berkat adanya dualitas struktur. Strukturasi adalah proses praktek-praktek sosial menjadi struktur yang hanya bisa terjadi dalam lintas ruang dan waktu. Giddens memandang ruang dan waktu secara integral turut membentuk kegiatan sosial. (Giddens, 1984:142). 
Dalam teori strukturasi, individu bukanlah ditempatkan pada posisi titik pusat (decentred subject)  tetapi juga bukan subyek dalam lingkup semesta kosong tanda-tanda. Dalam kaitan ini Giddens melihat adanya titik temu antara kegiatan sosial mencekeram ruang dan waktu dengan akar pembentukan dari subyek maupun obyek (Giddens, 1984:xxii). Seluruh kehidupan sosial terjadi dalam dan dibentuk oleh persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam waktu dan ruang. Karenanya kehidupan sosial dikontekstualitaskan dengan ruang dan waktu. Dalam kontekstualitas ruang dan waktu manusia dipandang sebagai suatu proses yang terus menerus bukan sebagai kumpulan tindakan atau tindakan yang terpisah-pisah. Konsep-konsep seperti maksud, alasan, sebab dan rasionalisasi dalam pandangan Giddens dilihat sebagai suatu proses bukan keadaan (Giddens, 1984:3). Tindakan manusia tak dapat dipisahkan dari tubuh dengan penempatannya dalam dimensi waktu dan ruang. Dengan kata lain interaksi sosial atau kehidupan sosial harus dipelajari dalam kehadiran bersama.
Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu pengalaman sehari-hari, jangka hidup individual dan lembaga-lembaga (Gidens, 1984:35). Dimensi pengalaman berkaitan dengan waktu yang terbentuk dalam kegiatan atau pengalaman sehari-hari yang dapat dibalik. Dimensi jangka hidup individual berkaitan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tak dapat dibalik atau disebut sebagai waktu tubuh. Dimensi lembaga-lembaga berkaitan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari lembaga. Dimensi waktu yang berkaitan dengan lembaga ini merupakan waktu kelembagaan yang merupakan baik syarat (condition) maupun hasil (outcome) kegiatan-kegiatan yang terpola dalam keberlangsungan hidup sehari-hari. Dalam konteks ini maka sejarah dipahami sebagai  pengertian temporalitas kegiatan-kegiatan manusia yang terjadi dalam keterkaitan tiga dimensi waktu.
Konsep lain dalam teori strukturasi adalah rutinisasi (routinization). Sesuatu yang rutin inilah yang menjadi elemen dasar kegiatan sosial hari per hari.  Apa yang rutin ini menunjukkan adanya keterulangan kegiatan sosial dalam lintas waktu-ruang. Menurut Giddens apa yang rutin dari suatu kehidupan sosial ini yang menjadi bahan dasar bagi apa yang disebutnya sebagai hakekat keterulangan kehidupan sosial (Giddens, 1984:xxiii). Dari keterulangan ini maka sifat-sifat terstruktur dari kegiatan sosial yang terus menerus  diciptakan kembali dari sumber-sumber daya yang dibentuknya.
Sementara itu untuk memahami ruang maka penting  menyadari posisi tubuh. Dalam kerangka pemikiran Giddens, tubuh dipandang sebagai sebagai tempat kedudukan diri yang aktif (the locus of the active self) (Giddens,1984:36). Dalam kehidupan sehari-hari individu-individu bertemu dengan individu-individu lainnya yang hadir bersama secara fisik dan interaksi yang terikat pada konteks situasi. Cirikhas sosial adalah  kehadiran yang berakar pada spasialitas tubuh yang terarah pada diri sendiri maupun  kepada orang lain. Giddens melihat pada posisi tubuh manusia ketika hadir dalam interaksi tidak menempati ruang dan waktu seperti halnya benda-benda material dalam ruang dan waktu. Tetapi spasialitas tubuh manusia merujuk pada situasi aktif yang terarah pada tugas-tugasnya (Giddens, 1984:65). Karenanya posisi tubuh menurut Giddens harus dipahami sebagai pengambilan posisi dalam kehadiran bersama.
Menurut Giddens dalam prinsip struktural terdapat tiga gugus besar struktur, yaitu signifikasi (signification), dominasi (domination) dan legitimasi (legitimation) ((Giddens, 1979:82, 1984:29-33). Struktur signifikasi atau penandaan adalah struktur yang menyangkut simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Sedangkan struktur dominasi atau penguasaan mencakup penguasaan atau orang dan barang. Penguasaan atas orang berkaitan dengan politik. Sementara penguasaan terhadap barang berkaitan dengan bidang ekonomi. Struktur legitimasi atau pembenaran menyangkut peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum (Giddens, dalam Herry-Priyono, 2002:24).
            Struktur dominasi mengacu pada hubungan asimetri pada tataran struktur, sementara itu kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada tataran praktek sosial. Karena itu kekuasaan menempati pada tataran langue sementara kekuasaan menempati pada tataran parole. Menurut Giddens kekuasaan dilihat sebagai transformatif capacity (Giddens, 1979:92. Kapasitas transformatif adalah kemampuan mengadakan intervensi dalam peristiwa tertentu dan mengadakan perubahan. Karena itu kekuasaan akan tampak ketika digunakan dalam struktur (Giddens, 1979:91). 
Sementara itu ada dua macam sumber daya yang terlibat dalam membentuk struktur dominasi, yaitu sumberdaya alokatif dan otoritatif (Giddens, 1979:100). Pertama, sumber daya alokatif yaitu yang memungkinkan dominasi manusia atas dunia material. Sumber alokatif ini seperti misalnya bahan mentah, peralatan produksi, teknologi,  hasil-hasil produksi. Kedua, adalah sumber daya otoritatif. Sumber daya ini yang memungkinkan dominasi manusia atas dunia sosial. Sumber daya otoritatif ini seperti misalnya pengorganisasian ruang-waktu, organisasi dan relasi manusia dalam asosiasi timbal balik, pengorganisasian kemungkinan kehidupan, ketika menggunakan dua sumber daya tersebut
Dalam pandangan Giddens ketika individu menggunakan kekuasaan dalam struktur di dalamnya terdapat apa yang disebut sebagai rules dan resources baik pada sumber daya alokatif maupun sumber daya otoritatif. Resources merupakan media kekuasaan pada tataran praktis dan sekaligus media struktur dominasi yang direproduksikan. Karenanya Giddens melihat peran resources merupakan faktor vital bagi individu dalam mewujudkan kekuasaan. Resources inilah yang memampukan individu untuk melakukan dominasi dengan pihak lain. Atau dengan kata lain dengan resources individu telah menciptakan struktur dominasi (Giddens, 1979:92).
Karena itu  pemikiran Giddens menyangkut tiga gugus prinsip struktural, pada tataran praktek sosial ketiganya saling kait mengkait (Giddens, 1984:29, 1979:82). Kaitan tiga gugus prinsip struktural dengan praktek sosial dapat dilihat pada skema berikut:





Dominasi
Signifikasi
Legitimasi
        
Struktur                 =                             

















(Sarana-antara)    =
















Sanksi
Kekuasaan
Komunikasi
Interaksi                =










Sumber:: Giddens, 1984:29, 1979:82)

Pada tataran praktek sosial, ketiga gugus prinsip struktural tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Struktur signifikasi pada tataran prakteknya akan mencakup struktur dominasi dan legitimasi. Misalnya penyebutan atau signifikasi dosen, pada gilirannya akan menyangkut prinsip struktural dominasi yang berupa otoritas dosen atas mahasiswa. Sementara prinsip struktural legitimasi akan mengikuti pula ketika dosen berhak mengadakan ujian untuk menilai sejauhmana mahasiswa memiliki keberhasilan proses belajar mengajar di kampusnya. Teori strukturasi Giddens yang berlandaskan dualitas antara struktur dan individu dengan berangkat dari kerangka analisis hubungan tiga gugus prinsip struktural sebagai praktek sosial, yang akan digunakan untuk menganalisis komunitas kecil pedagang kaki lima yang menempati sekitar pasar Keputran.

Alih Fungsi.
            Pedagang yang sekarang ini menempati di jalan Keputran Utara dan jalan Bayu (sekitar pasar Keputran) pada awalnya memang  seperti Pedagang Kaki Lima (PKL) lainnya di di berbagai tempat termasuk di kota Surabaya. Pada awalnya pedagang di jalan seputar pasar Keputran tidak langsung berjumlah besar apalagi ratusan. Pada awalnnya hanya berjumlah satu dua orang yang hanya berjualan di jalan. Dalam perjalanan waktu ternyata pedagang yang berada di ruas jalan inilah yang lebih laku dibanding dengan pedagang-pedagang pasar yang menempati bedak-bedak resmi  dalam pasar. Lama kelamaan pedagang yang berada di dalam pasar tidak hanya membuka stan yang telah resmi di sewa dari PD pasar. Tetapi pedagang yang memiliki stan resmi di dalam pasar mulai membuka stan tidak resmi yang berada di ruas jalan.
Bagi pedagang pilihan untuk menempati ruas jalan atau di luar pasar adalah langkah rasional praktis untuk menjemput para pembeli. Bagi pedagang yang masih tetap berjualan di dalam pasar lama kelamaan ternyata semakin sepi pembeli. Karena itu pilihannya adalah mengikuti pedagang yang lain berjualan di ruas jalan kendati dengan resiko penertiban oleh aparat uyang berwenang. Pada awalnya memang sering ada penertiban kepada para pedagang yang berjualan di ruas badan jalan. Bagi para pedagang adanya penertiban dan barang dagangan disita pertugas adalah resiko yang mesti ditanggung. Bagi para sebagian pedagang memang menyadari berjualan di ruas jalan akan menanggung resiko, karena memang bukanlah tempat yang legal untuk berjualan.
Semakin lama perkembangan berjualan di ruas jalan tampaknya tidak lagi menjadi pilihan alternatif sekunder, tetapi sudah menjadi pilihan primer bahkan semacam keharusan. Berjualan di jalan tidak lagi merupakan pilihan untuk menyambut dan mempermudah pembeli, tetapi sudah berubah menjadi keharusan untuk berjualan. Dalam perkembangan selanjutnya para pedagang tidak lagi berjualan di dua tempat, satu di dalam pasar pada tempat bedak resmi yang disewa dari PD pasar, tetapi secara penuh berjualan di ruas jalan.
Sementara di sisi lain bedak-bedak yang semula di gunakan untuk berjualan berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Pada awalnya memang hanya digunakan untuk beristirahat ketika lelah atau tidak sedang berjualan. Tetapi lama-kelamaan bedak dalam pasar tidak lagi digunakan sebagai tempat istirahat sementara tetapi berubah secara penuh menjadi tempat tinggal. Berubahnya bedak menjadi tempat tinggal bagi para pedagang di pasar Keputran salah satu sebab karena tempat tinggal pedagang yang kebanyakan berjauhan dengan pasar Keputran. Sebagian bertempat tinggal di dalam Surabaya tetapi harus menempuh alat transportasi yang membutuhkan biaya sementara sebagian pedagang justru dari luar Surabaya. Khususnya bagi para pedagang yang bertempat tinggal yang jauh bahkan di luar Surabaya, jika setiap hari harus pulang pergi akan memboroskan waktu dan biaya. Oleh karena itu karena masih memiliki stand di dalam pasar, maka pilihanya menjadikan pasar sebagai tempat tinggal adalah langkah yang rasional, terutama dari segi waktu maupun menghemat biaya.
Semakin banyaknya pedagang yang menempati ruas jalan yang notabene tempat publik dan berfungsi sebagai lalulintas maka pihak pemerintah kota juga tidak berani untuk menarik retribusi kepada para pedagang. Kalau pemerintah kota sampai menarik retribusi kepada pedagang yang berjualan di ruas badan jalan berarti melegalkan tepat tersebut sebagai lahan untuk berusaha. Karenanya pihak pemerintah kota menghadapi dilema, satu sisi menarik retribusi adalah tindakan salah karena tidak berdasarkan peraturan yang ada, sementara di sisi lain jumlah pedagang semakin banyak jumlahnya sehingga tidak mudah menghalau agar tidak berjualan di ruas badan jalan.
Sedangkan bagi pedagang menempati ruas badan jalan disadari bukan pada tempatnya dan melanggar peraturan. Karena itu bagi para pedagang menyadari bahwa tempat berjualannya rentan terhadap penggusuran yang dilakukan aparat pemerintah kota. Sewaktu-waktu aparat pemerintah kota secara tiba-tiba dapat saja akan melakukan penertiban. Kalau penertiban yang dilakukan pemerintah kota dilaksanakan maka resikonya sangat besar. Bisa-bisa semua barang dagangan akan disita petugas dan tidak dikembalikan. Kalau ini yang terjadi berarti bagi pedagang akan kehilangan asset produksi sumber penghasilan ekonomi.

Penguasaan Ruang Publik
Kendati berada di bawah bayang-bayang penertiban atau penggusuran para pedagang yang menempati ruas badan jalan tetap melakukan aktivitas berjualannya. Perkembangan selanjutnya yaitu ketika semakin banyak pedagang yang berjualan di ruas badan jalan, maka para pedagang mulai melakukan pengaplingan tempat-tempat usaha menjadikan hak milik khusus (lihat De Soto, 1991:89). Para pedagang memberi batas-batas wilayah tempat berjualan dengan memberi tanda misalnya garis dengan cat atau menempatkan alat yang digunakan berjualan.
Sejarah perkembangannya di berbagai tempat sektor informal termasuk pedagang pasar Keputran Utara menduduki suatu lokasi telah melakukan proses yang panjang. Pada umumnya suatu tempat tidak diduduki sekaligus secara bersamaan, tetapi sebaliknya secara berangsur-angsur. Pola semacam ini bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan tahap untuk melakukan uji coba dari segala tindakan yang telah diambil oleh penguasa atau pengapling ruang-ruang publik dan dampak-dampak yang dimunculkan sebagai akibatnya.
Keberhasilan untuk menguasai tempat ruang publik dan lancarnya beraktifitas ekonomi yang telah diraih oleh PKL generasi pertama ini umumnya kemudian diikuti dengan generasi lanjutan untuk mngapling ruang-ruang publik yang berada di sekitarnya. Terbukti di berbagai tempat termasuk jalan Keputran Utara dan jalan Bayu, pada awalnya hanya satu-dua pedagang saja yang melakukan pengaplingan dab menjalankan aktivitas ekonomi. Tetapi lambat-laun semakin bertambah baik kuantitas maupun kualitas jenis barangnya.
Bagi pedagang lama kehadiran pedagang baru ini bukan dianggap sebagai saingan apalagi sebagau musuh, tetapi sebaliknya justru  dapat memberikan energi baru yang semakin memperkokoh posisi khususunya secara ekonomi maupun keamanan. Kehadiran pedagang baru yang mengapling ruang publik yang masih belum ada penguasanya dan membawa barang dagangan kemudian berjualan di tempat tersebut baik sama jenis barang sama atau tidak, justru dapat dianggap sebagai sarana untuk meraih banyak calon pembeli. Dalam benak pedagang, semakin banyak pedagang yang berjualan di sekitar tempatnya  justru akan semakin menarik calon pembeli untuk datang. Semakin banyak dan seringnya penjual dan pembeli melakukan transaksi di tempat yang sama lama-kelamaan menjadi tempat yang permanen. Keputusan pedagang untuk menetap di suatu tempat merupakan proses yang panjang dan berulang-ulang. Energi yang menopang keputusan ini makin diperkuat oleh ikatan kepentingan yang sama diantara sesama pedagang yang berdekatan untuk mengukuhkan dan menduduki secara permanen lokasinya masing-masing.
Di seputar pasar Keputran yang berupa ruas badan jalan sebagai tempat berjualan dianggap oleh orang-orang tertentu merupakan tempat yang prospektif, karenanya layak dan laku untuk diperdagangkan. Bersamaan para pedagang pasar yang melakukan pengaplingan di ruas badan jalan, maka ada beberapa orang juga melakukan hal yang sama. Beberapa orang melakukan pengaplingan lebih dari satu-dua stan yang tidak hanya digunakan untuk berjualan sendiri, tetapi dijual atau disewakan kepada pihak lain. Para pedagang yang ingin berjualan di ruas badan jalan Kaputran Utara dan jalan Bayu pada tahap berikutnya tidak lagi secara bebas menggelar dagangannya. Para pedagang yang bermaksud berjualan tidak lagi secara gratis memperoleh tempat untuk melakukan aktivitas jual-beli. Para pedagang yang ingin berjualan di tempat itu harus membeli atau menyewa kepada pemilik kapling yang telah menguasai ruas jalan Kaputran Utara dan jalan Bayu.
Penguasa kapling inilah yang disebut sebagai “penguasa” pedagang dalam tulisan ini bukan istilah preman. Dalam istilah lain banyak kalangan menyebut sebagai preman sebagai penguasa tempat-tempat ruang publik. Istilah preman sering merujuk partikelir, sipil, swasta atau dilawankan dengan tentara. Tetapi dalam tulisan ini “penguasa” pedagang yang dimaksudkan adalah penguasa ruas jalan Keputran Utara dan jalan Bayu yang memiliki kekuasaan mengatur siapa yang boleh dan tidak menempati areal ruas badan jalan untuk berjualan.
Di jalan-jalan seputar pasar Keputran setidaknya ada enam “penguasa” pedagang yang menguasai jalan Keputran Utara dan jalan Bayu. Penguasa jalan Bayu adalah H. Kacung yang menguasai wilayah mulai ujung Barat (sebelah Selatan Gedung Dharmala) hingga pertigaan jalan Keputran Utara. Sementara di sepanjang jalan Keputran Utara dikuasai oleh  lima orang. Dari pertigaan jalan Bayu dengan Keputran Utara ke arah Selatan dikuasai oleh tiga orang, yaitu H. Sanam, Salom dan Marsuki. H. Sanam menguasai wilayah di sekitar depan pasar Keputran, sementara Salom dan Marsuki menguasai daerah sekitar pertigaan jalan Bayu-Keputran Utara. Sedangkan pertigaan jalan Bayu-Keputran Utara ke arah Utara di kuasai oleh dua orang yaitu Suratijo dan Muhammad. Muhammad menguasai wilayah jalan yang berada di depan hotel Brantas, sementara Suratijo di sekitar pertigaan jalan Bayu-Kaputran Utara sebelah Utara.

Gugus Signifikasi
Dalam dualitas antara struktur dan tindakan dalam konteks pedagang pasar jalan Keputran Utara dan jalan Bayu juga melibatkan sarana-sarana. Gugus signifikasi melibatkan sarana yang berwujud bingkai interpretasi tentang wacana “penguasa” pedagang sebagai satu-satunya “pintu” masuk untuk melakukan aktivitas berjualan di jalan Keputran Utara dan Bayu. Sebelum seorang pedagang membuka stand  dan berjualan maka terlebih dahulu harus bertemu “penguasa” pedagang atau kaki tangannya. “Penguasa” pedagang seakan menjadi semacam “juragan” bagi para pedagang. “penguasa” pedagang inilah seakan-akan yang dapat menentukan nasib para pedagang. Wacana “penguasa” pedagang atau seseorang yang menguasai tempat berjualan terus direproduksi bagi siapa saja yang berkepentingan dengan ada tempat berjualan di ruas badan jalan Keputran Utara dan Bayu. Tidak hanya kepada para pedagang tetapi juga pemerintah kota tidak dapat melepaskan wacana “penguasa” pedagang atau seseorang yang menguasai pedagang yang menggelar dagangannya sore hari hingga pada hari hari.
Pada konteks praktek sosial pedagang pasar di jalan Keputran Utara dan Bayu ini dapat diidentifikasi gugus prinsip struktural Giddens. Struktur signifikasi dapat ditemukan dalam sebutan “penguasa” pedagang yang menguasai jalan Bayu dan jalan Keputran Utara. Siapapun yang berkeinginan “memasuki”, “mengusik” atau memiliki kepentingan yang berkaitan dengan  perdagangan di ruas badan jalan Bayu dan Keputran Utara mau tidak mau akan bersinggungan dengan apa yang disebut sebagai “penguasa” pedagang. Jangankan para pedagang yang berkepentingan langsung dengan tempat usaha yang dikuasainya, pihak pemerintah kotapun tidak dapat menganggap peran “penguasa” pedagang ini sebagai persoalan yang ringan bahkan tidak ada. Penyebutan “penguasa” pedagang inilah yang yang menjadi kata yang sangat “disegani” oleh pihak lain. Wacana “penguasa” pedagang bagi kalangan pedagang yang berjualan di  dua ruas jalan tersebut telah terlembaga menjadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Karenanya wacara “penguasa” pedagang selalu akan muncul ketika akan berbicara sesuatu yang berkaitan dengan pedagang pasar di ruas jalan Bayu dan Keputran Utara.
Struktur sebagai hasil dari keterulangan praktek sosial dalam konteks pedagang pasar di jalan Keputran Utara dan jalan Bayu dalam hal gugus signifikasi dapat diidentifikasi dari pembakuan signifikasi yang terbentuk melalui pengulangan bahwa berdagang di kawasan jalan Bayu dan Keputran Utara harus memberikan sejumlah uang kepada “penguasa” pedagang sebagai uang sewa stand. Wacana “penguasa” pedagang terus direproduksi  sehingga menjadikan semakin kokoh membentuk sebuah struktur bahwa di dalam  komunitas pedagang yang menempati jalan Keputran Utara dan Bayu tidak dapat melupakan apa yang disebut sebagai “penguasa” pedagang. Karena itu segala tingkah laku pedagang tak dapat lepas dari wacana “penguasa” pedagang di dalamnya. Di mana posisi berjualan, seberapa luas stan yang ditempati, kapan buka dan tutup tak dapat lepas dari wacana “penguasa” pedagang. “penguasa” pedagang inilah pada gilirannya menjadi semacam bagian dari struktur praktek sosial yang terjadi di dalamnya. Sementara itu ketika berjualan, maka setiap hari harus mengeluarkan uang iuran yang telah ditetapkan. Keterulangan struktur ini ditunjang juga melalui wadah-wadah koordinator yang memiliki tugas masing-masing, seperti membawa pedagang baru, menarik uang sewa, menarik uang iuran dan melakukan pengawasan terhadap pedagang.
            Gugus signifikasi lain dapat diidentifikasi pada soal perlindungan keamanan dari “penguasa” pedagang. Selain wacana “penguasa” pedagang itu sendiri maka gugus signifikasi lain yang terus direproduksi adalah jaminan keamanan yang diberikan “penguasa” pedagang. Signifikasi jaminan keamanan semakin kokoh direproduksi dengan cara fakta bahwa ketika ada upaya penggusuran dari pemerintah kota, maka para “penguasa” pedagang akan berusaha menghadangnya. Sebaliknya di luar lingkup pedagang bersangkutan, bahwa wacana perlindungan berada di tangan “penguasa” pedagang juga telah tereproduksi dalam benak pemerintah kota. Karena itu ketika ada upaya kebijakan yang menyangkut pedagang di seputar jalan Keputran Utara dan Bayu secara otomatis wacana “penguasa” pedagang sebagai “kepala suku” selalu mendapat prioritas yang harus didengar suaranya. Di kalangan pedagang sendiri jaminan keamanan yang diberikan “penguasa” pedagang direproduksi lewat pembayaran uang kemananan setiap harinya. Lewat pembayaran uang keamanan ini, bagi pedagang menganggap urusan keamanan yang dapat menopang keberlangsungan berdagang di tempat yang sama akan lebih terjamin. Kalau toh misalnya para “penguasa” pedagang tidak dapat lagi berunding dengan pemerintah kota dan harus kalah, maka informasi kekalahan itu dapat segera sampai sehingga pedagang jauh-jauh telah mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada tindakan represif dari pemerintah kota. Karena itu kalau toh ada penertiban yang sungguh-sungguh dilaksanakan dari pemerintah kota paling tidak para pedagang telah mengetahui terlebih dahulu dari para “penguasa” pedagang sehingga dapat menyelamatkan barang dagangannya sebelum dirazia apalagi disita petugas.

Gugus Dominasi
            Dominasi mengacu pada hubungan asimetri pada tataran struktur, sementara itu kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial dalam tataran praktek sosial. Kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan sistem, melainkan kapasitas yang inherent pada pelaku (aktor), karenanya selalu menyangkut kapasitas transformatif (Giddens. 1984:4). Sementara itu ada dua macam sumber daya yang terlibat dalam membentuk struktur dominasi, yaitu sumberdaya alokatif dan otoritatif (Giddens, 1979:100).
Gugus prinsip dominasi pada tataran struktur dapat dilihat pada otoritas pada pedagang. Dalam konteks interaksi pedagang dengan “penguasa” pedagang pasar jalan Keputran Utara dan jalan Bayu pada gilirannya melibatkan gugus dominasi. Semua pedagang yang bermaksud berjualan di dua ruas jalan itu harus terlebih dahulu memiliki pengertian yang mendalam dan mengetahui konsekwensinya ketika masuk struktur. Bagi para pedagang sebelum berjualan harus memiliki makna yang sama dengan pedagang sebelumnya tentang tindakan apa yang mesti dilakukan ditempat yang baru tersebut.
Karenanya setiap pedagang yang baru harus memiliki signifikasi tentang “penguasa” pedagang sebagai struktur dominasi di lingkungannya sebagai praktek sosial. Karenanya jika calon pedagang akan berjualan di wilayah kekuasaan “penguasa” ini tanpa melalui pihak yang memiliki struktur dominasi maka akan kesulitan untuk melakukan interaksi sosial. Ketika sudah ada lampu hijau dari “penguasa” pedagang setempat maka para pedagang baru dapat memasuki struktur dan menjadi salah satu bagian di dalamnya. Dalam pengertian jika “penguasa” pedagang ini sudah memberikan kewenangannya berjualan di daerah wilayah yang dikuasainya maka para pedagang itu akan berjualan tanpa rasa ragu dan bebas rasa takut dari gangguan dari pihak lain. Gugus struktur dominasi  yang dimiliki para “penguasa” pedagang  adalah mencakup penguasaan atas orang, yaitu penguasaan atas para pedagang. Penguasaan para “penguasa” pedagang kepada pedagang tidak hanya penguasaan pada orang semata, tetapi pada gilirannya memang juga penguasaan ekonomi. Karena setiap orang yang telah berdagang di daerah yang dikuasai para “penguasa” pedagang akan memberikan sejumlah uang untuk menyewa lahan sebagai tempat berjualan.
Sebagai wujud adanya dominasi, maka seorang pedagang setidaknya harus merogoh uang dari kantongnya kurang lebih sebesar 1 juta rupiah untuk per meter persegi guna mendapatkan lahan tempat berjualan (Jawa Pos, 6/03/2001). Di samping itu setiap pedagang masih harus mengeluarkan uang setoran sebesar 10 ribu rupiah setiap harinya kepada pihak “penguasa” pasar baik yang resmi maupun yang tidak.  Para pedagang mengakui bahwa iuran paling banyak digunakan untuk para “penguasa” pedagang. Per pedagang setidaknya mengeluarkan uang tiap hari sebanyak Rp 2.500,. Karena itu para pedagang memerinci pengeluaran Rp 10.000,- perhari terdiri dari sebanyak Rp 1.500,- untuk sewa lampu, Rp 2.500,0 untuk uang keamanan agar  tidak terkena razia (“penguasa” pedagang), sisanya sebanyak Rp 6.000,- untuk angkut bedak dan ongkos timbangan. Penentuan tarif sewa dan iuran per hari yang dikenakan kepada pedagang yang dikuasai “penguasa” pedagang merupakan bentuk reproduksi gugus dominasi. Penentuan berapa besarnya sewa dan iuaran setiap harinya merupakan otoritas “penguasa” pedagang kepada para pedagang. Karena itu berapapun uang sewa dan iuran harian yang ditetapkan para “penguasa” pedagang, pedagang yang berada di lingkup kekuasaannya tidak dapat melakukan penawaran apalagi menolaknya.
Dualitas struktur dominasi dengan praktek kekuasaan melibatkan sarana berupa fasilitas. Dalam konteks pedagang pasar Keputran Utara dan jalan Bayu fasilitas terlihat dalam jabatan “penguasa” pedagang itu sendiri. “Penguasa” pedagang memiliki kekuasan untuk memerintah kepada anak buahnya –berupa koordinator—agar para pedagang di bawah kekuasaannya tidak sampai lalai untuk membayar uang sewa atau iuran setiap harinya.  Sebutan “penguasa” pedagang juga merupakan fasilitas yang mengatasi pada pedagang dari  gangguan pihak lain. Kekuasaan “penguasa” pedagang atas pedagang juga ditunjukkan bagaimana unsur perlawanan jika da pihak lain yang berupaya mengusiknya. Sekitar bulan Nopember 2001, ketika PD Pasar berupaya melakukan penertiban terhadap pada “penguasa” pedagang, ternyata mendapat perlawanan yang tidak ringan. Penertiban yang dilakukan PD Pasar justru membawa korban. Petugas PD Pasar terluka parah karena di bacok pleh salah satu anak buah “penguasa” pedagang atau penguasa pasar. Dalam konteks pemikiran Giddens kekerasan untuk membuktikan  kekuasan termasuk sebagai sarananya.

Gugus Legitimasi
            Pada gilirannya gugus dominasi melibatkan legitimasi di dalamnya. Gugus legitimasi pada tataran strukturnya, sementara pada tataran interaksi atau praktek sosial berupa sanksi-sanksi. Antara legitimasi pada tataran struktur dan paktek sosial terdapat sarana yang berupa norma atau nilai. Norma-norm dibangun atau direproduksi melibatkan gugus signifikasi dan dominasi. Berangkat dari gugus dominasi ini maka dalam praktek sosial yang secara berulang-ulang antara “penguasa” pedagang dengan para pedagang di dalamnya akhirnya terbentuk seperangkat norma. Seperangkat norma yang terbentuk melalui proses pengulangan yang terus menerus dari praktek sosial ini merupakan hasilnya. Sementara praktek sosial yang merupakan sarana  praktek sosial adalah realisasi norma yang terus menerus diberlakukan secara berulang-ulang dalam tataran praktek sosial di dalamnya.
Para “penguasa” pedagang memiliki kekuatan legitimasi untuk memberi sanksi manakala ada pedagang yang tidak lagi memberikan iuran perhari atau bahkan tidak memberi uang sewa. Karena itu manakala ada para pedagang yang tidak lagi memberikan uang sewa maka para “penguasa” pedagang akan memberikan sanksi tidak membolehkan lagi berjualan di daerah kekuasaannya. Di sinilah gugus legitimasi struktural akan nampak. Disini nampak dualitas antara struktur dan pelaku yang berlangsung sebagai sarana praktek sosial. Bagi “penguasa” pedagang perangkat legitimasi tidak muncul begitu saja tetapi melalui perangkat proses pengulangan yang terus-menerus yang akhirnya menjadi semacam norma yang mengatur tata perilaku ketika melakukan praktek sosial. Demikian juga bagi para pedagang, norma yang menjadi pijakan tata perilaku dalam praktek sosial tidak secara tiba-tiba ada, tetapi melaui proses perulangan yang terus-menerus yang akhirnya diterima sebagai norma tata perilaku yang berlaku dalam komunitasnya, bukan komunitas lain.
Sebagai perwujudan legitimasi para “penguasa” pedagang melakukan pengawasan kepada para pedagang yang menjadi kekuasaannya. Pengawasan dengan imbalan adanya sanksi ini dilakukan agar pedagang baru tidak begitu saja berjualan di daerah kekuasaan para “penguasa” pedagang. Keterulangan dalam hal dominasi secara terus menerus direproduksi dengan cara mempertegas dalam pembayaran sewa maupun pembayaran iuran setiap harinya. Bila ada pedagang yang membayar iuran terlambat maka akan mendapat peringatan dan sanksi. Lebih-lebih ada pedagang yang tidak membayar sewa maka secara tegas akan diusir dari tempat berjualannya. Penerapan norma yang berupa pemberian sanksi kepada siapa yang tidak sejalan dengan legitimasi maka tindakan ini merupakan reproduksi legitimasi itu sendiri. Selain itu merupakan reproduksi gugus signifikasi maupun dominasi. Kekuatan pemberian sanksi serta kepatuhan di pihak lain merupakan praktek sosial yang bersumber dari dualitas struktur dengan pelaku.
Proses keterulangan gugus legitimasi pada tataran struktur dan sanksi pada tataran praktek sangat dibatasi oleh ruang dan waktu. Ruang menurut Giddens bukan seperti posisi benda mati tetapi lebih dipahami sebagai sebagai kedudukan diri yang aktif. Karena itu ketika melakukan praktek sosial para “penguasa” pedagang dan pedagang bukanlah sebagai individu yang pasif tetapi sebaliknya menempati posisi yang aktif. “penguasa” pedagang selalu mengantisipasi dengan segala kemungkinan misalnya ada pedagang yang melanggar norma. Tidak selalu pelanggaran yang sama mendapatkan sanksi yang sama. Pemberian sanksi kepada pelangggar tergantung pada situasi tempat dan waktu. Misalnya ada pelanggaran dari pedagang dan kebetulan di sekitar pernah mendapat sanksi maka bisa jadi sanksi yang akan diterima bisa berat dan sebaliknya bisa ringan. Kalau misalnya pelanggar kebetulan orang yang selama ini sering membuat jengkel para “penguasa” pedagang maka kemungkinan besar akan mendapat sanksi yang berat dibanding pelanggaran serupa sebelumnya. Sebaliknya pelanggar merupakan orang yang dikenal baik dan memiliki reputasi yang baik selama berjualan maka kemungkinan besar akan mendapat sanksi yang ringan bahkan terbebas dari sanksi.

Ruang dan Waktu
            Menurut Giddens ruang dan waktu secara integral turut membentuk kegiatan sosial. Dalam praktek sehari-hari individu-individu hadir bersama secara fisik yang terikat pada situasi ruang dan waktu. Ketika hadir dalam perjumpaan bersama maka akan dicirikan oleh adanya spasialitas tubuh individu yang terarah pada individu lainnya dan terarah individu yang mengalaminya. Spasialitas dalam pandangan Giddens bukan dalam arti posisi melainkan dalam konteks spasialitas situasi. Pada konteks ini maka spasialitas tubuh aktif yang mengarah pada aktifitas dari tugas-tugasnya atau apa yang akan dilakukan.
            Dalam konteks pedagang di seputar pasar Keputran, maka akan diidentifikasi kehadiran individu-individu yang terlibat di dalamnya. Paling tidak secara garis besar ada beberapa pihak yang terlibat dalam perjumpaan bersama sehari-hari, yaitu “penguasa” pedagang, pedagang, koordinator bawahan “penguasa” pedagang, petugas Dispol PP dan tentunya pembeli. Kehadiran bersama dalam setiap harinya masing-masing pihak akan mempertimbangkan segala tingkah laku dan konsekwensinya. Norma-norma yang mendasari tingkah laku dalam perjumpaan bersama hanya akan berlaku di komunitas tersebut bukan pada komunitas lainnya.
            “Penguasa” pedagang akan memperlakukan pedagang yang sudah menjadi penguasaannya sesuai dengan norma yang telah berulang-ulang direproduksi. Para pedagang yang telah dikuasainyapun akan bertindak sesuai dengan norma-norma yang telah terbentuk dan disepakati bersama dalam perjumpaan sehari-harinya. Pihak “penguasa” pedagang akan menindak dan memberi sanksi kepada pedagang yang melakukan pelanggaran atau tidak bertindak sesuai dengan norma yang telah berlaku di dalamnya. Sebaliknya secara reflektif pedagang akan menerima hukuman berupa sanksi bila ada pelanggaran tanpa mempertanyakan lagi apa pelanggaran dan apa bentuk sanksinya. Bagi “penguasa” pedagang dan pedagang yang menjadi kekuasannya akan memiliki pemahaman yang sama dalam kehadiran bersama setiap harinya. Pemahaman itu diperoleh melalui rutinisasi yang terulang-ulang dalam konteks waktu dan ruang. Para “penguasa” pedagang tidak akan melakukan hal yang sama pada konteks ruang dan waktu lainnya.
Konteks ruang misalnya, “penguasa” pedagang tidak dapat memperlakukan kepada pedagang lainnya yang berada di bawah kekuasaan “penguasa” pedagang lainnya. Demikian juga dalam konteks waktu, “penguasa” pedagang hanya dapat berlaku dan memiliki dominasi serta legitimasi pada saat pedagang menggelar dagangannya di daerah kekuasaannya. Karenanya dominasi dan legitimasi tidak dapat lagi diterapkan dalam praktek sosial di luar konteks perjumpaan  yang telah direproduksi dan menjadi struktur. Sebaliknya ketika pedagang tidak menggelar dagangannya maka “penguasa” pedagang akan terlepas dari konteks waktu sebagai “penguasa” pedagang. Bagi pedagang tidak ada kewajiban untuk mentaati “penguasa” pedagang di luar konteks waktu yang telah menjadi struktur. Kendati struktur yang telah menjadi hasil praktek sosial ini akan berubah dan justru menjadi sarana praktek sosial dalam konteks waktu dan ruang lainnya.
            Praktek sosial antara petugas Dispol PP dengan pedagang atau “penguasa” pedagang di daerah seputar jalan pasar Keputran berbeda dengan pedagang-pedagang lain yang menempati jalan. Di berbagai sudut kota, tak sedikit   pedagang yang menempati trotoar bahkan badan jalan. Di beberapa tempat lain di kota ini para pedagang yang berjualan di trotoar selalu dihinggapi rasa was-was bahkan khawatir ketika ada petugas Dispol PP. Apalagi pedagang yang jelas-jelas menggunakan badan jalan sebagai tempat berjualan akan semakin khawatir dan besar resikonya. Karenanya adanya perasaan ketakutan bila sewaktu-waktu ada penertiban dapat dipahami. Perasaan khawatir akan semakin memuncak ketika melihat petugas Dispol PP dilengkapi dengan mobil patroli dengan dilengkapi senjata, misalnya pentungan. Para pedagang ini selalu dihantui oleh ancaman penertiban atau razia yang sewaktu-waktu dilaksanakan pemerintah kota.
Tetapi bagi pedagang  yang berjualan di jalan Keputran Utara dan Bayu tidak dihinggapi oleh kekhawatiran sedikitpun apalagi berlebihan akan adanya penertiban atau penggusuran seperti yang dirasakan pedagang (PKL)  di pinggir-pinggir jalan lainnya. Sebaliknya di jalan Keputran Utara dan Bayu terlihat para pedagang seakan tidak memperhatikan kehadiran Dispol PP yang setiap hari berada di tempat tersebut. Kalau ditempat lain Dispol PP ditakuti sementara di seputar jalan Keputran Utara dan Bayu seakan menjadi “sahabat”. Pedagang melakukan aktivitasnya tanpa ada gangguan kendati berada di badan jalan, sementara petugas Dispol PP hanya berjaga-jaga tidak melakukan tindakan yang mengancam pedagang. Bagi petugas Dispol PP yang bertugas di wilayah ini harus berperilaku lain dengan di tempat-tempat lain. Kendati yang dihadapi sama-sama termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL), ternyata petugas Dispol PP yang sedang bertugas tidak bertindak dan berperilaku yang sama. Dalam konteks ruang, sangat jelas tindakan Dispol PP. Di satu tempat petugas Dispol PP bertindak keras sementara di tempat lainnya bertindak lebih kompromis bahkan terkesan bersahabat.

Penutup
Titik sentral teori strukturasi Giddens adalah dualitas struktur dengan pelaku dan sentralitas ruang dengan waktu. Dalam komunitas kecil di kalangan pedagang yang berjualan di jalan Keputran Utara dan jalan Bayu dapat ditemukan dan diidentikasi dualitas truktur-pelaku dan sentralitas waktu ruang. Di dalamnya juga dapat diidentikasi tiga gugus besar prinsip strukturalnya, seperti gugus signifikasi, dominasi dan legitimasi.
Pada tataran praktek bagaimana komunikasi yang terjadi atas dasar bingkai intrepretatif dari signifikasi, kekuasaan terbangun dengan fasilitas sumber-sumber kekuasaan serta sanksi diterapkan melalui sarana norma sebagai akibat dari legitimasi yang dimiliki oleh salah satu pihak. Konteks waktu dan ruang juga diidentifikasi dalam komunitas pedagang yang menjadi obyek verifikasi teori strukturasi Giddens.
Konteks waktu dapat dilihat dalam praktek sosial pada saat pedagang menggelar dagangan pada waktu sore hingga pagi hari (setelah barang dagangan habis). Konteks ruang hanya terjadi di jalan Keputran Utara dan jalan Bayu kota Surabaya, di luar ruang itu maka tak ada praktek sosial antara “penguasa” dan pedagang yang diikat oleh sebuah norma sebagai landasannya
Struktur sosial bukanlah dibentuk berdasarkan pendekatan struktural yang mengatasi setiap praktek sosial warga kota. Pendekatan struktural mempercapai bahwa setiap praktek sosial mendasarkan pada struktur-struktur yang telah ada dan mapan sebelumnya. Kalau dilihat dalam kontaks ini maka seharusnya setiap warga kota mendasarkan perilakunya pada struktur-struktur yanag telah ada. Misalnya struktur sosial yang mengatakan bahwa berjualan di jalan adalah sebagai bentuk pelanggaran dan sudah semestinya tidak dilakukan. Tetapi dalam kasus tulisan berjualan di jalan seakan telah menjadi struktur tersendiri, kendati dari dimensi  ruang dan waktu di tempat lain kota ini berjualan di jalan tetap menjadi bentuk pelanggaran dan mendapat tindakan tegas dari aparat berwenang.
***8***



Rujukan

De Soto, Hernando.  Masih Ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991

Dispol PP Surabaya,  Laporan Pelaksanaan Kegiatan Penertiban Terpadu Di Wilayah Kota Surabaya, Mei 2002


Giddens, Anthony. Central Problems in Social Theory. Macmillan, London, 1979.

-----------------------. The Constitution of Society. Polity Press, Cambridge   1984.

-----------------------. New Rules of Sociological Method. Cambridge, 1976, 1993, 2nd. Edition

Herry-Priono,B.  Anthony Giddens,Suatu Pengantar, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2002

Suhartono, Martin.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Visitor

Flag Counter